PRINSIP AHLUS SUNNAH DALAM MENYIKAPI PENGUASA

    Author: Sidiq Nurhidayat Genre: »
    Rating

    Firman Allah berikut yang merupakan pedoman yang senantiasa dipegangi oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dalam menyikapi pemerintahan atau khilafah yang ada:

    يأيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم

    “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kalian.” (QS. An Nisa’: 59)

    Pada ayat ini Allah memerintahkan kita semua untuk taat kepada Allah, yaitu dengan mengikuti kitab-Nya, dan mentaati Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengikuti sunnahnya, serta mentaati para pemimpin (ulul ‘amri) diantara kita, baik ulul ‘amri dari kalangan ulama’ atau umara’ (penguasa). Ini adalah kewajiban kita semua untuk senantiasa taat kepada Allah, Rasulullah dan para pemimpin diantara kita. Akan tetapi walau demikian, pada ayat ini Allah Ta’ala mengulang perintah untuk taat, yaitu kata ta’atilah (athi’u) sebanyak dua kali, yaitu taat kepada Allah dan ta’at kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi ketika menyebutkan ulul ‘amri, Allah tidak mengulang kata ta’atilah (athi’u).

    Hal ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kewajiban ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak karena sebagai konsekwensi pengakuan dan keimanan kita kepada Allah dan Rasul-Nya adalah senantiasa taat dan untuk tidak beramal selain dengan syari’at yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan. Sedangkan keta’atan kepada ulul ‘amri tidak bersifat mutlak, akan tetapi keta’atan kepada mereka hanya wajib atas kita sebatas dalam hal yang ma’ruf atau selama tidak melanggar dengan kewajiban ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemahaman semacam ini dengan tegas telah disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

    عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه و سلم السمع والطاعة على المرء المسلم فيما أحب وكره ما لم يؤمر بمعصية فإذا أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة

    “Dari sahabat Ibnu Umar rodiallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam Wajib atas setiap orang muslim untuk mendengar dan menta’ati, baik dalam hal yang ia suka atau yang ia benci, kecuali kalau ia diperintahkan dengan kemaksiatan, maka tidak boleh mendengar dan menta’ati.” (Bukhari dan Muslim)

    Dan pada hadits lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam lebih tegas bersabda:

    يَكُوْنُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ

    “Akan ada setelahku para penguasa yang tidak melakukan petunjuk-petunjukku dan tidak melakukan sunnah-sunnahku. Dan akan ada diantara mereka orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati syaitan yang terdapat di jasad manusia”. Aku (Hudzaifah) berkata, “Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini?” Rasulullah bersabda, “Engkau tetap harus setia mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun ia memukul punggungmu atau mengambil hartamu, maka tetaplah untuk setia mendengar dan taat!” (Riwayat Muslim)

    Adakah penguasa yang lebih dzolim dari penguasa yang tidak menjalankan syari’at Nabi, berhati setan, memukul rakyatnya, dan merampas harta mereka??

    Suatu gambaran yang amat mengerikan, para pemimpin atau penguasa yang amat lalim, sampai-sampai dinyatakan hati mereka adalah hati setan. Bila seorang pemimpin telah berhati setan, maka ia akan menjadi bengis, berdarah dingin, korupsi, sewenang-wenang, dan tidak kenal belas kasihan kepada orang lain.

    Ibnu Hajar berkata: “Meskipun ia memukul punggungmu dan memakan hartamu”, perilaku ini banyak terjadi di masa pemerintahan Al-Hajjaaj dan yang semisalnya.” (Fathul Bari 13/36)

    Lihatlah Ibnu Hajar menjadikan kepemimpinan Al-Hajjaaj sebagai contoh nyata bagi penerapan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Al Hajjaj adalah seorang tokoh yang amat bengis dan kejam, sampai-sampai khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz pernah berkata:

    لوتخابثت الأمم، فجاءت كل أمة بخبيثها، وجئنا بالحجاج لغلبناهم

    “Seandainya seluruh umat berlomba-lomba dengan orang yang paling keji dari mereka, kemudian setiap umat mendatangkan orang yang paling keji dari mereka dan kita mendatangkan Al Hajjaj, niscaya kita dapat mengalahkan mereka.”

    Pada hadits lain Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ) قِيْلَ “يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟” فقال (لاَ مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ). رواه مسلم

    “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian membenci mereka dan merekapun membenci kalian, kalian melaknati mereka dan merekapun melaknati kalian.” Dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, apakah tidak (sebaiknya tatkala itu) kita melawan mereka dengan pedang?” Rasulullah berkata, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat sesuatu yang kalian benci dari para pemimpin kalian, maka bencilah amalannya dan janganlah kalian mencabut tangan kalian dari ketaatan kepadanya.” (Riwayat Muslim)

    Pada hadits lain Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

    “Barangsiapa yang melihat sesatu dari pemimpinnya yang ia benci, maka hendaknya ia bersabar, karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejauh sejengkal, kemudian ia mati maka kematiannya bagaikan kematian jahiliyah.” (Muttafaqun ‘alaih)

    Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tetap bersabar jika melihat berbagai hal yang tidak kita sukai atau perbuatan mungkar yang dilakukan oleh penguasa. Bahkan barang siapa yang tidak bersabar dan keluar dari ketaatannya sehingga memisahkan diri dari jama’ah kemudian ia mati maka kematiannya dinyatakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kematian jahiliyah!

    Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan mati jahiliyah (dalam hadits ini)… yaitu keadaan matinya seperti matinya orang-orang di zaman jahiliyah yang mati di atas kesesatan dan tidak memiliki pemimpin yang ditaati. Karena mereka tidak mengenal adanya pemimpin. Dan bukanlah maksudnya ia mati dalam keadaan kafir akan tetapi mati dalam keadaan bermaksiat… Dan yang mendukung bahwa maksud dari jahiliyah adalah hanya sebatas penyerupaan (bukan makna dzohirnya mati dalam keadaan kafir) adalah sabda Rasulullah yang lain:

    مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَكَأَنَّمَا خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ

    “Barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah sejengkal maka seakan-akan ia telah melepaskan kekang Islam dari lehernya”…” (Fathul Bari 13/7).

    Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan merupakan ilmu dan keadilan yang diperintahkan untuk dilaksanakan adalah bersabar atas kedzoliman para penguasa dan kelaliman mereka, sebagaimana hal ini merupakan prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah.” (Majmuu’ Fataawaa 28/179)

    Beliau juga berkata: “Dan diantara prinsip pokok pembahasan ini bahwasanya hanya sekedar terdapatnya al-baghyu (kedzoliman) pada seorang penguasa atau sebuah kelompok maka tidaklah mengharuskan untuk memerangi mereka. Bahkan tidak pula membolehkan untuk memerangi mereka. Bahkan salah satu prinsip pokok yang ditunjukan oleh dalil-dalil bahwasanya seorang penguasa yang dzolim maka masyarakat diperintahkan untuk bersabar atas kelaliman dan kedzolimannya serta tidak memerangi mereka, sebagaimana hal ini telah diperintahkan oleh Nabi pada lebih dari satu hadits. Nabi tidak mengizinkan secara mutlak untuk mencegah terjadinya kedzoliman dengan peperangan, bahkan bila pada upaya mencegah tindak kedzoliman akan menyebabkan timbulnya fitnah, mereka dilarang dari upaya tersebut dan diperintahkan untuk bersabar.” (Al Istiqamah 32)

    Prinsip ini bukan hanya berlaku dalam hubungan interaksi antara rakyat dan pemerintah dan ulama’ akan tetapi berlaku dalam segala urusan, sampai-sampai dalam hubungan antara anak dan orang tuanya prinsip ini tetap berlaku dan wajib diindahkan oleh setiap muslim. Perhatikanlah firman Allah berikut ini:

    وإن جاهداك على أن تشرك بي ما ليس لك به علم فلا تطعهما وصاحبهما في الدنيا معروفا

    “Dan jika keduanya (Ayah dan ibu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu patuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

    Dan masih banyak lagi dalil serta keterangan ulama’ ahlis sunnah tentang prinsip ketaatan kepada sesama manusia, baik pemerintah, atau orang tua, atau atasan dalam sebuah organisasi, atau perusahaan atau lainnya, yang semuanya menguatkan apa yang saya utarakan ini, yaitu ketaatan kepada sesama manusia hanya boleh dilakukan selama tidak melanggar syari’at Allah.





    Disusun oleh: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. & Ustadz Firanda Andirja, Lc.


    Leave a Reply

    Posting Terbaru




    Ingin langganan artikel gratis via email? masukan alamat email anda di sini:

    Delivered by FeedBurner

    Page Rank

    Visited Today

    Brownies Kukus LaKhansa

    Total Pageviews

    Alexa