Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Ikhtilafuhum rohmah”, perbedaan ulama (dalam masalah fiqih) adalah rahmat. Beliau mengatakan hal ini dalam kitab beliau Lum’atul I’tiqod.
Perkataan beliau di atas boleh jadi benar dari satu sisi, dan keliru ditinjau dari sisi yang lain.
Perbedaan itu rahmat bisa jadi benar jika ditinjau dari sisi usaha keras para ulama dalam berijtihad sehingga muncullah berbagai macam pendapat yang ada. Dari sisi ini kita dapat katakan bahwa perbedaan pendapat kala itu adalah rahmat. Jadi tinjauan yang benar ini dilihat dari sisi usaha keras para ulama yang melakukan ijtihad.
Namun jika yang dimaksud perbedaan adalah rahmat ditinjau dari sisi umat yang mengikuti berbagai macam pendapat, bisa jadi keliru. Ada yang ikut pendapat ulama A, Syaikh B, kyai C, dst, padahal ada di antara pendapat-pendapat tersebut yang jelas bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sisi inilah dapat kita katakan tidak tepatnya mengatakan bahwa perbedaan itu rahmat. Tinjauannya adalah dari sisi umat yang ikut berbagai ragam pendapat. Karena beragam pendapat di tengah umat seperti itu membuat umat terpecah belah. Maka jelas perbeadaan saat itu bukanlah rahmat.
Jadi perkataan perbedaan itu rahmat dapat ditafsirkan benar dan keliru. Bisa saja perkataan tersebut disalah tafsirkan dan bisa jadi pemahamannya benar.
Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik daripada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullah. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jauh dari ajaran beliau, tentu kita tinggalkan.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ : لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (I’lamul Muwaqi’in, 2/282).
Wallahu waliyyut taufiq.
Reference:
Syarh Lum’atul I’tiqod (Ibnu Qudamah Al Maqdisi), Syaikh Sholeh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Syaikh (Menteri Agama Saudi Arabia), terbitan Darul Kautsar, 2008.
@ Soeta Airport - Jakarta, 15 Jumadats Tsaniyah 1432 H (18/05/2011)
www.rumaysho.com
Perkataan beliau di atas boleh jadi benar dari satu sisi, dan keliru ditinjau dari sisi yang lain.
Perbedaan itu rahmat bisa jadi benar jika ditinjau dari sisi usaha keras para ulama dalam berijtihad sehingga muncullah berbagai macam pendapat yang ada. Dari sisi ini kita dapat katakan bahwa perbedaan pendapat kala itu adalah rahmat. Jadi tinjauan yang benar ini dilihat dari sisi usaha keras para ulama yang melakukan ijtihad.
Namun jika yang dimaksud perbedaan adalah rahmat ditinjau dari sisi umat yang mengikuti berbagai macam pendapat, bisa jadi keliru. Ada yang ikut pendapat ulama A, Syaikh B, kyai C, dst, padahal ada di antara pendapat-pendapat tersebut yang jelas bertentangan dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sisi inilah dapat kita katakan tidak tepatnya mengatakan bahwa perbedaan itu rahmat. Tinjauannya adalah dari sisi umat yang ikut berbagai ragam pendapat. Karena beragam pendapat di tengah umat seperti itu membuat umat terpecah belah. Maka jelas perbeadaan saat itu bukanlah rahmat.
Jadi perkataan perbedaan itu rahmat dapat ditafsirkan benar dan keliru. Bisa saja perkataan tersebut disalah tafsirkan dan bisa jadi pemahamannya benar.
Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik daripada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullah. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jauh dari ajaran beliau, tentu kita tinggalkan.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
أَجْمَعَ المُسْلِمُوْنَ عَلَى أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ : لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang lainnya.” (I’lamul Muwaqi’in, 2/282).
Wallahu waliyyut taufiq.
Reference:
Syarh Lum’atul I’tiqod (Ibnu Qudamah Al Maqdisi), Syaikh Sholeh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Syaikh (Menteri Agama Saudi Arabia), terbitan Darul Kautsar, 2008.
@ Soeta Airport - Jakarta, 15 Jumadats Tsaniyah 1432 H (18/05/2011)
www.rumaysho.com