Apakah niat puasa harus diucapkan ?

    Author: Sidiq Nurhidayat Genre: »
    Rating

    Sebenarnya kalau berbicara masalah niat dalam melaksanakan ibadah, tidak hanya terbatas pada masalah puasa, ini berlaku juga terhadap ibadah-ibadah yang lain. Sebagaimana halnya keikhlasan, niat adalan amalan hati dan bukan amalan anggota badan. Memang benar bahwa niat merupakan salah satu syarat di terimanya suatu amal ibadah,sesuai dengan hadits :

    “Sesungguhnya ama-amal itu hanya tergantung kepada niat”…………………..{HR. Bukhori, Muslim, Abu daud, Tirmidzi, dan Nasa’i}

    akan tetapi melafazkan niat sebelum melaksanakan ibadah seperti yang biasa dilaksanakan sebagian masyarakat muslim saat ini dengan lafazh “ ushalli fardho….”, “Nawaitu shauma ghoddin… “, dan sebagainya tidak pernah dicontohkan Rasulullah saw, para sahabat,tabi’in, dan tabiut tabi’in selaku generasi terbik umat ini yang mendapat rekomendasi langsung dari Rasulullah saw melalui sabdanya :

    “Sebaik-baik manusia adalah pada masaku {sahabat} kemudian yang setelahnya {tabi’in} dan kemudian yang setelahnya {Tabiut Tabi’in} (Muttafaq ‘alaih)

    Berbicara masalah agama berarti berbicara masalah dalil {Al-Qur’an dan Hadits}, karena agama ini tegak dengan hujjah dan Agama ini berdasarkan wahyu {Al-Qur’an dan Hadits}, bukan berdasarkan Ro’yu {Akal fikiran} semata, karena baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah dan Rasulnya. Sebenar-benar perkataan adalah kitabullah {Al-Qur’an} dan sebenar-benar petunjuk adalah petunjuk Rasulullah saw {Al-Hadits}.

    Niat itu letaknya di hati bukan di lisan.

    Niat merupakan amal hati secara murni, bukan amalan lisan. Maka dari itu tidak dikenal dari Nabi saw, tidak pula para sahabat rasulullah saw, dan salafus Shalih adanya niat yang dilafazhkan, berbagai lafazh niat yang saya sebutkan diatas tidak pernah disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Menurut akal sehat pun itu adalah suatu keanehan, sebab seseorang tidak akan mengatakan, “ Saya akan membantu kakek itu menyebrang jalan karena Allah Ta’ala, akan tetapi dia cukup meniatkan didalam hatinya. Coba bayangkan jika orang tersebut harus melafazhkan niat setiap hari, betapa repotnya orang ini, Belum amalan-amalan lain yang akan ia kerjakan sampai malam. Karena pada hakekatnya setiap amalan yang dilakukan dengan niat Karena Allah swt adalah bernilai ibadah dan mendapat pahala di sisi-Nya apabila diniatkan ikhlash karena Allah swt. Dan Allah mengetahui niat hamba-Nya walupun tidak diucapkan dengan lisan. Firman Allah :

    “Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi” {Thaha : 7}

    Walaupun seseorang melafazhkan niat sepuluh kali dengan mengatakan : “lillahi ta’ala”. Akan tetapi bila dalam hatinya tidak berniat karena Allah maka amalannya tersebut tidak akan diterima. Dan tidak aka nada nilainya di sisi Allah swt.

    Peranan niat dalam mengarahkan amal, menentukan bentuknya, membatasi jenis dan bobotnya, maka para ulama menyimpulkan suatu kaidah fikih, yang termasuk salah satu kaidah yang luas. Kaidah itu adalah, “Amal itu beserta tujuan tujuannya”. Dari kaidah ini mereka membuat kaidah-kaidah yang banyakdi antaranya : yang menjadi pertimbangan adalah batas tujuan dan makananya, bukan lafazh yang di ucapkan. Maka terungkaplah sebuah hadits :

    “Sesungguhnya Allah mengampuni bagi umatku dari kesalahan dan lupa serta apa-apa yang dipaksa kepadanya.” {Shahih Jami Ash-Shagir wa Ziyadatuhu, no.1731}

    Pengampunan ini terjadi karena tidak adanya dalam tiga perkara tersebut, yaitu kesalahan, lupa dan ketidaksukaan.

    Tidak ada Khilaf di kalangan ulama salaf bahwa niat cukup dalam hati.

    Tentang masalah niat, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf, semenjak zaman sahabat sampai sekarang, jum’at lalu usai sholat jum’at saya membaca sebuah bulletin dari Masjid Habiburrahman di daerah Bandung, ustadz tersebut menulis : “Semua ulama dari ujung barat maroko sampai ujung timur merauke sepakat bulat-bulat bahwa niat itu bukan di lidah tetapi di hati”. Dan menurut saya perkataan beliau benar.

    Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya mengenai niat di awal berbagai ibadah seperti ketika mengawali shalat dan ibadah lainnya. Apakah niat ketika itu harus diucapkan di lisan semisal dengan ucapan “nawaitu ashumu” (saya berniat untuk puasa), atau “usholli” (saya berniat untuk shalat)? Apakah seperti itu wajib dilakukan?

    Beliau rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah. Niat thoharoh (bersuci) seperti akan berwudhu, mandi, tayamum, niat shalat, puasa, haji dan zakat, menunaikan kafaroh, serta berbagai ibadah lainnya, niat tersebut tidak perlu dilafazhkan. Bahkan yang benar, letak niat adalah di hati dan bukan di lisan, inilah yang disepakati para ulama. Seandainya seseorang salah mengucapkan niat lewat lisannya, lalu berbeda dengan apa yang ada di hatinya, maka yang jadi patokan adalah apa yang ada di hatinya, bukan apa yang ia ucapkan (lafazhkan).

    Benarkah Menurut Madzhab Syafi'i Menganjurkan Melafazhkan niat?


    Tidak Benar, Sebagaimana penjelasan diatas bahwa tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama salaf bahwa niat itu letaknya di hati, bukan di lisan. Termasuk imam yang empat seperti : Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan termasuk juga Imam Syafi'i. Adapun Ulama syafi'iyah yang setelahnya, mereka mengeluarkan pendapat yang Keliru. Kekeliruan mereka ini disebabkan perkataan Imam Syafi’i, “Shalat harus ada pelafalan di awalnya”. Maksud Imam Syafi’i di sini adalah takbir, artinya takbir itu wajib di awal shalat. Namun sebagian ulama Syafi’iyah salah paham. Mereka sangka bahwa yang dimaksud Imam Syafi’i adalah melafazhkan niat. Jadilah mereka keliru dalam hal ini.

    Kami akan membawakan perkataan dua ulama besar Syafi’iyah tentang masalah ini. Sungguh aneh jika kita perhatikan dengan seksama praktek pengikut Syafi’iyah saat ini dengan imam mereka.

    Ulama pertama, Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah yang masyhur dengan sebutan Imam Nawawi pernah mengatakan dalam salah satu kitabnya,

    لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ

    “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan. Masalah ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.”{Rowdhotuth Tholibin, 1/268.}.

    Coba perhatikan baik-baik apa yang beliau utarakan. Letak niat di dalam hati dan tidak perlu dilafazhkan di lisan.

    Ulama Syafi’iyah lainnya yang berbicara tentang niat yaitu Asy Syarbini rahimahullah. Beliau mengatakan,

    وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ ، وَلَا تَكْفِي بِاللِّسَانِ قَطْعًا ، وَلَا يُشْتَرَطُ التَّلَفُّظُ بِهَا قَطْعًا كَمَا قَالَهُ فِي الرَّوْضَةِ

    “Niat letaknya dalam hati dan tidak perlu sama sekali dilafazhkan. Niat sama sekali tidak disyaratkan untuk dilafazhkan sebagaimana ditegaskan oleh An Nawawi dalam Ar Roudhoh.”{Mughnil Muhtaj, 1/620.}

    Sekiranya cukup jelas penjelasan-penjelasan di atas dan dapat kit ambil kesimpulan bahwa melafazhkan niat tidak ada sumbernya dari Al-Qur'an dan Hadits, bahkan tidak pernah di lakukan oleh generasi terbaik umat ini yaitu para sahabat, salafus-Shalih dan ulama-ulama salaf setelahnya. dan cukuplah jelas bagi kita mana yang benar dan mana yang salah.Wallhu A'lam.


    Dari berbagai Sumber

    By Kajian Islam dan Murottal

    Leave a Reply

    Posting Terbaru




    Ingin langganan artikel gratis via email? masukan alamat email anda di sini:

    Delivered by FeedBurner

    Page Rank

    Visited Today

    Brownies Kukus LaKhansa

    Total Pageviews

    Alexa