Penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran
Shalat adalah ibadah utama seorang muslim. Baik buruknya shalat seseorang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan akhiratnya. Namun di masa kini, betapa banyak orang yang tidak mengerjakan amalan ini. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang memang malas untuk mengerjakan shalat, tidak tahu pentingnya shalat, dan tersibukkan dengan urusan dunia. Uraian berikut mencoba untuk membimbing seorang anak sedini mungkin untuk mengerjakan shalat sehingga ketika dewasa ia senantiasa menjunjung tinggi kewajiban ini.
Adzan berkumandang. Anak-anak itu tetap tak beranjak dari depan TV, tempat bermain atau pembaringannya, bahkan hingga akhir waktu shalat datang menjelang. Orang tua mereka pun tak pernah ambil pusing dengan itu semua. Betapa mengherankan! Sementara mereka begitu perhatian dan semangat membangunkan anak-anaknya atau memanggil mereka pulang dari bermain agar tidak terlambat sekolah, atau terlambat masuk les ini dan itu.
Duhai…! Lupakah mereka dengan peringatan dari Rabb semesta alam:
بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Akan tetapi kalian mengutamakan dunia, sementara akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 16-17)
Seorang mukmin yang berakal tentu tidak akan memilih sesuatu yang hina dengan meninggalkan yang lebih baik. Pun tidak akan membeli kesenangan sesaat dengan ketenangan yang abadi, karena kecintaan terhadap dunia merupakan pangkal setiap kesalahan. (Taisirul Karimir Rahman hal. 921)
Duhai, siapa kiranya orang tua yang ingin membiarkan bahkan menanjurkan anak-anak mereka memilih sesuatu yang hina? Tidakkah mereka merasa senang melihat anak-anaknya tumbuh dalam ketaatan kepada Rabbnya untuk menikmati kesenangan yang abadi? Siapa kiranya orang tua yang tak berbesar hati mengharap kebaikan bagi anak-anak yang seperti itu?
Anjuran, bimbingan, dan arahan tentu dibutuhkan sepanjang perjalanan si anak agar dia menjadi penyejuk hati kedua orang tuanya. Di antaranya adalah anjuran untuk menjalankan ibadah badaniyah terbesar, yakni shalat.
Inilah yang dilakukan sosok teladan bagi para orang tua, Luqman Al-Hakim, ketika menyampaikan wasiat kepada anaknya:
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ
“Wahai anakku, dirikanlah shalat…” (Luqman: 17)
Yang dimaksud adalah menunaikan shalat dengan seluruh batasan, kewajiban, dan waktu-waktunya (Tafsir Ibnu Katsir, 6/194)
Inilah tanggung jawab yang harus ditunaikan kepada keluarga, sebagai perwujudan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah keluargamu untuk menunaikan shalat dan bersabarlah atasnya.” (Thaha: 132)
Keluarga adalah siapa pun yang ada dalam sebuah rumah tangga, baik istri, putra-putri, bibi, ataupun ibu. (Syarh Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, 2/119)
Mereka dianjurkan untuk menunaikan shalat dan didorong untuk menjalankan shalat, baik shalat fardhu maupun nafilah. Sementara memerintahkan pada sesuatu berarti memerintahkan pada seluruh perkara yang dapat menyempurnakan sesuatu itu. Demikian pula perintah untuk shalat. Berarti mengajarkan pula hal-hal yang dapat memperbagus shalat, merusak, maupun menyempurnakannya.
Juga bersabar dalam menegakkan shalat dengan seluruh batasan, rukun, adab, dan khusyu’ dalam shalat, karena hal ini terasa berat bagi jiwa. Akan tetapi, jiwa ini harus dipaksa dan diperangi untuk menjalankannya, diiringi pula senantiasa oleh kesabaran, karena bila seorang hamba menegakkan shalat sesuai dengan apa yang diperintahkan ini, maka dia akan lebih menjaga dan menegakkan perkara agama yang lainnya. Sebaliknya, bila seorang hamba menyia-nyiakan shalatnya, maka dia akan lebih menyia-nyiakan perkara agama yang lainnya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 517)
Begitu pula yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu:
مُرُوا أُوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي المَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad dan dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5744: “Hadits ini hasan.”)
Inilah di antara sekian hak anak yang harus ditunaikan oleh orang tua, dengan memerintahkan mereka shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun, dan memukul mereka bila meremehkan dan menyia-nyiakannya ketika telah menginjak sepuluh tahun, dengan syarat anak itu berakal. Artinya, bila anak telah mencapai tujuh atau sepuluh tahun namun mereka tidak berakal (gila), maka mereka tidak diperintah dengan sesuatu pun, tidak pula dipukul bila meninggalkan hal itu. Akan tetapi, orang tua harus mencegah terjadinya kerusakan pada diri mereka, baik di dalam maupun di luar rumah.
Yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah yang mendidik, yakni pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, 2/123-124)
Tak heran bila didapati perintah untuk mengajarkan shalat kepada anak-anak, mengingat begitu penting dan berartinya shalat bagi seorang hamba. Di antara sekian banyak keutamaan yang bakal dipetik adalah penjagaan dirinya dari kekejian dan kemungkaran.
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)
Al-Fahsyaa’ dalam ayat ini meliputi seluruh kemaksiatan yang diingkari dan dianggap kotor serta disukai oleh hawa nafsu. Sementara Al-Mungkar mencakup seluruh perbuatan maksiat yang diingkari oleh akal dan fitrah.
Seorang hamba yang senantiasa menunaikan shalat dengan menyempurnakan rukun-rukun, syarat-syarat dan khusyu’ di dalamnya, akan beroleh cahaya di kalbunya, bersih hatinya, bertambah iman, takwa dan kecintaannya terhadap kebaikan, akan berkurang atau bahkan hilang keinginannya terhadap kejelekan. Dengan begitu, kesinambungan dan penjagaannya terhadap shalat dengan cara seperti ini akan mencegahnya dari segala perbuatan keji dan mungkar. Inilah di antara tujuan terbesar dan buah yang dipetik dari shalat.
Sementara itu, di dalam ibadah shalat terdapat maksud yang lebih agung dan lebih besar, yaitu dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kalbu, lisan dan badan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan hamba-hamba-Nya, dan ibadah paling utama yang dilakukan oleh para hamba adalah shalat, di dalamnya terkandung ibadah seluruh anggota badan yang tidak terdapat pada ibadah selainnya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 632)
Keutamaan lain yang bakal diperoleh seorang hamba dengan shalatnya digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak perkataan beliau. Di antaranya yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟ قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؛ قَالَ: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، يَمْحُو اللهُ بِهِنَّ الخَطَايَا
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bagaimana menurut kalian, bila ada sebuah sungai besar di depan pintu salah seorang dari kalian yang dia mandi di dalamnya lima kali dalam sehari, apakah ada dakinya yang tertinggal?’ Para shahabat menjawab: ‘Tidak akan tertinggal dakinya sedikit pun.’ Beliau pun berkata: ‘Demikian permisalan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan’.” (HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 668)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, merupakan penggugur bagi dosa yang ada di antaranya selama tidak dilakukan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu menyampaikan pula:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتٌوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ مَا لَمْ تُؤْتَ كَبِيْرَةٌ، وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang didatangi waktu shalat wajib, lalu dia memperbagus wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalatnya akan menjadi penggugur bagi dosa-dosanya yang lalu selama tidak melakukan dosa-dosa besar dan ini terus berlangsung sepanjang masa.” (HR. Muslim no. 228)
Mengajarkan shalat pada anak-anak dapat dilakukan dengan berwudhu dan menunaikan shalat di hadapan mereka, mengajak mereka ke masjid, mendorong mereka dengan adanya kitab yang berisi tata cara shalat agar seluruh keluarga dapat pula mempelajari hukum-hukum shalat. Selain itu, diajarkan pula Al-Qur’an, dimulai dengan Surat Al-Fatihah serta surat-surat pendek lainnya, kemudian diajarkan untuk menghapal bacaan tahiyyat.
Anak-anak diajari pula hukum-hukum, syarat-syarat, kewajiban-kewajiban shalat, serta hal-hal yang membatalkan shalat, sunnah-sunnah, adab-adab dan dzikir-dzikir dalam shalat.
Di samping itu, anak laki-laki diberi dorongan untuk menunaikan shalat Jum’at dan jamaah di masjid di belakang barisan shaf laki-laki. Tentu saja harus disertai kelemahlembutan ketika menasihati mereka bila terjatuh dalam kesalahan, tidak membentak ataupun menghardik mereka, agar nantinya mereka tidak meninggalkan shalat hingga justru membuahkan dosa bagi orang tuanya. (Kaifa Nurabbi Auladana hal. 25)
Sementara anak-anak perempuan diajari keutamaan shalat mereka di dalam rumah, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari para wanita:
صَلاَةُ المَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي حُجْرَتِهَا، وَصَلاَتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي بَيْتِهَا
“Shalat seorang wanita di kamar khusus dalam rumahnya lebih utama daripada shalatnya di kamarnya, dan shalatnya di makhda’nya1 lebih utama daripada shalatnya di dalam kamar khusus di rumahnya.” (HR. Abu Dawud dan dikatakan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih 2/150: “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)
Hal yang tak boleh luput dari pengajaran shalat adalah masalah khusyu’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ
“Beruntunglah orang-orang yang beriman, yang khusyu’ di dalam shalat mereka.” (Al-Mukminun: 1-2)
Khusyu’nya seorang hamba dalam shalat adalah hadirnya hati di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasakan kedekatan dengan-Nya, hingga tenang hati, jiwa dan gerakannya, hampir-hampir tidak berpaling dari-Nya, dengan sepenuh adab di hadapan Rabbnya, menghadirkan segala yang diucapkan dan dilakukan di dalam shalat, dari awal hingga akhir shalatnya, hingga hilanglah segala bisikan dan pikiran yang hina. Inilah ruh shalat, inilah yang diinginkan dalam shalat seorang hamba, dan inilah yang diwajibkan atas seorang hamba. Oleh karena itu, shalat tanpa khusyu’ dan tanpa disertai hadirnya hati, walaupun mencukupi untuk menggugurkan kewajiban dan mendapatkan pahala, namun sesungguhnya pahala itu sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 547-548)
Demikian semestinya yang menjadi perhatian orang tua, demi mengantarkan putra-putrinya ke gerbang kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Siapa kiranya yang tak tergiur dengan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak pernah diselisihi-Nya:
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولَئِكَ فِي جَنَّاتٍ مُكْرَمُوْنَ
“Dan orang-orang yang menjaga shalatnya, mereka itu dimuliakan di dalam surga.” (Al-Ma’arij: 34-35)
Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=223
Shalat adalah ibadah utama seorang muslim. Baik buruknya shalat seseorang akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan akhiratnya. Namun di masa kini, betapa banyak orang yang tidak mengerjakan amalan ini. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang memang malas untuk mengerjakan shalat, tidak tahu pentingnya shalat, dan tersibukkan dengan urusan dunia. Uraian berikut mencoba untuk membimbing seorang anak sedini mungkin untuk mengerjakan shalat sehingga ketika dewasa ia senantiasa menjunjung tinggi kewajiban ini.
Adzan berkumandang. Anak-anak itu tetap tak beranjak dari depan TV, tempat bermain atau pembaringannya, bahkan hingga akhir waktu shalat datang menjelang. Orang tua mereka pun tak pernah ambil pusing dengan itu semua. Betapa mengherankan! Sementara mereka begitu perhatian dan semangat membangunkan anak-anaknya atau memanggil mereka pulang dari bermain agar tidak terlambat sekolah, atau terlambat masuk les ini dan itu.
Duhai…! Lupakah mereka dengan peringatan dari Rabb semesta alam:
بَلْ تُؤْثِرُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَاْلآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Akan tetapi kalian mengutamakan dunia, sementara akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (Al-A’la: 16-17)
Seorang mukmin yang berakal tentu tidak akan memilih sesuatu yang hina dengan meninggalkan yang lebih baik. Pun tidak akan membeli kesenangan sesaat dengan ketenangan yang abadi, karena kecintaan terhadap dunia merupakan pangkal setiap kesalahan. (Taisirul Karimir Rahman hal. 921)
Duhai, siapa kiranya orang tua yang ingin membiarkan bahkan menanjurkan anak-anak mereka memilih sesuatu yang hina? Tidakkah mereka merasa senang melihat anak-anaknya tumbuh dalam ketaatan kepada Rabbnya untuk menikmati kesenangan yang abadi? Siapa kiranya orang tua yang tak berbesar hati mengharap kebaikan bagi anak-anak yang seperti itu?
Anjuran, bimbingan, dan arahan tentu dibutuhkan sepanjang perjalanan si anak agar dia menjadi penyejuk hati kedua orang tuanya. Di antaranya adalah anjuran untuk menjalankan ibadah badaniyah terbesar, yakni shalat.
Inilah yang dilakukan sosok teladan bagi para orang tua, Luqman Al-Hakim, ketika menyampaikan wasiat kepada anaknya:
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ
“Wahai anakku, dirikanlah shalat…” (Luqman: 17)
Yang dimaksud adalah menunaikan shalat dengan seluruh batasan, kewajiban, dan waktu-waktunya (Tafsir Ibnu Katsir, 6/194)
Inilah tanggung jawab yang harus ditunaikan kepada keluarga, sebagai perwujudan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلاَةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا
“Perintahkanlah keluargamu untuk menunaikan shalat dan bersabarlah atasnya.” (Thaha: 132)
Keluarga adalah siapa pun yang ada dalam sebuah rumah tangga, baik istri, putra-putri, bibi, ataupun ibu. (Syarh Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, 2/119)
Mereka dianjurkan untuk menunaikan shalat dan didorong untuk menjalankan shalat, baik shalat fardhu maupun nafilah. Sementara memerintahkan pada sesuatu berarti memerintahkan pada seluruh perkara yang dapat menyempurnakan sesuatu itu. Demikian pula perintah untuk shalat. Berarti mengajarkan pula hal-hal yang dapat memperbagus shalat, merusak, maupun menyempurnakannya.
Juga bersabar dalam menegakkan shalat dengan seluruh batasan, rukun, adab, dan khusyu’ dalam shalat, karena hal ini terasa berat bagi jiwa. Akan tetapi, jiwa ini harus dipaksa dan diperangi untuk menjalankannya, diiringi pula senantiasa oleh kesabaran, karena bila seorang hamba menegakkan shalat sesuai dengan apa yang diperintahkan ini, maka dia akan lebih menjaga dan menegakkan perkara agama yang lainnya. Sebaliknya, bila seorang hamba menyia-nyiakan shalatnya, maka dia akan lebih menyia-nyiakan perkara agama yang lainnya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 517)
Begitu pula yang diperintahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhu:
مُرُوا أُوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي المَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun. Dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad dan dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5744: “Hadits ini hasan.”)
Inilah di antara sekian hak anak yang harus ditunaikan oleh orang tua, dengan memerintahkan mereka shalat ketika telah mencapai usia tujuh tahun, dan memukul mereka bila meremehkan dan menyia-nyiakannya ketika telah menginjak sepuluh tahun, dengan syarat anak itu berakal. Artinya, bila anak telah mencapai tujuh atau sepuluh tahun namun mereka tidak berakal (gila), maka mereka tidak diperintah dengan sesuatu pun, tidak pula dipukul bila meninggalkan hal itu. Akan tetapi, orang tua harus mencegah terjadinya kerusakan pada diri mereka, baik di dalam maupun di luar rumah.
Yang dimaksud dengan pukulan di sini adalah yang mendidik, yakni pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. (Syarh Riyadhush Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, 2/123-124)
Tak heran bila didapati perintah untuk mengajarkan shalat kepada anak-anak, mengingat begitu penting dan berartinya shalat bagi seorang hamba. Di antara sekian banyak keutamaan yang bakal dipetik adalah penjagaan dirinya dari kekejian dan kemungkaran.
إِنَّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (Al-‘Ankabut: 45)
Al-Fahsyaa’ dalam ayat ini meliputi seluruh kemaksiatan yang diingkari dan dianggap kotor serta disukai oleh hawa nafsu. Sementara Al-Mungkar mencakup seluruh perbuatan maksiat yang diingkari oleh akal dan fitrah.
Seorang hamba yang senantiasa menunaikan shalat dengan menyempurnakan rukun-rukun, syarat-syarat dan khusyu’ di dalamnya, akan beroleh cahaya di kalbunya, bersih hatinya, bertambah iman, takwa dan kecintaannya terhadap kebaikan, akan berkurang atau bahkan hilang keinginannya terhadap kejelekan. Dengan begitu, kesinambungan dan penjagaannya terhadap shalat dengan cara seperti ini akan mencegahnya dari segala perbuatan keji dan mungkar. Inilah di antara tujuan terbesar dan buah yang dipetik dari shalat.
Sementara itu, di dalam ibadah shalat terdapat maksud yang lebih agung dan lebih besar, yaitu dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kalbu, lisan dan badan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan hamba-hamba-Nya, dan ibadah paling utama yang dilakukan oleh para hamba adalah shalat, di dalamnya terkandung ibadah seluruh anggota badan yang tidak terdapat pada ibadah selainnya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 632)
Keutamaan lain yang bakal diperoleh seorang hamba dengan shalatnya digambarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak perkataan beliau. Di antaranya yang disampaikan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهْرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ هَلْ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؟ قَالُوا: لاَ يَبْقَى مِنْ دَرَنِهِ شَيْءٌ؛ قَالَ: فَذَلِكَ مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ، يَمْحُو اللهُ بِهِنَّ الخَطَايَا
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Bagaimana menurut kalian, bila ada sebuah sungai besar di depan pintu salah seorang dari kalian yang dia mandi di dalamnya lima kali dalam sehari, apakah ada dakinya yang tertinggal?’ Para shahabat menjawab: ‘Tidak akan tertinggal dakinya sedikit pun.’ Beliau pun berkata: ‘Demikian permisalan shalat lima waktu, dengannya Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan’.” (HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 668)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمُعَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ مَا لَمْ تُغْشَ الكَبَائِرُ
“Shalat lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, merupakan penggugur bagi dosa yang ada di antaranya selama tidak dilakukan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233)
‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu menyampaikan pula:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ تَحْضُرُهُ صَلاَةٌ مَكْتٌوْبَةٌ فَيُحْسِنُ وُضُوءَهَا وَخُشُوعَهَا وَرُكُوعَهَا إِلاَّ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا قَبْلَهَا مِنَ الذُّنُوْبِ مَا لَمْ تُؤْتَ كَبِيْرَةٌ، وَذَلِكَ الدَّهْرَ كُلَّهُ
“Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang didatangi waktu shalat wajib, lalu dia memperbagus wudhu’nya, khusyu’nya dan ruku’nya, kecuali shalatnya akan menjadi penggugur bagi dosa-dosanya yang lalu selama tidak melakukan dosa-dosa besar dan ini terus berlangsung sepanjang masa.” (HR. Muslim no. 228)
Mengajarkan shalat pada anak-anak dapat dilakukan dengan berwudhu dan menunaikan shalat di hadapan mereka, mengajak mereka ke masjid, mendorong mereka dengan adanya kitab yang berisi tata cara shalat agar seluruh keluarga dapat pula mempelajari hukum-hukum shalat. Selain itu, diajarkan pula Al-Qur’an, dimulai dengan Surat Al-Fatihah serta surat-surat pendek lainnya, kemudian diajarkan untuk menghapal bacaan tahiyyat.
Anak-anak diajari pula hukum-hukum, syarat-syarat, kewajiban-kewajiban shalat, serta hal-hal yang membatalkan shalat, sunnah-sunnah, adab-adab dan dzikir-dzikir dalam shalat.
Di samping itu, anak laki-laki diberi dorongan untuk menunaikan shalat Jum’at dan jamaah di masjid di belakang barisan shaf laki-laki. Tentu saja harus disertai kelemahlembutan ketika menasihati mereka bila terjatuh dalam kesalahan, tidak membentak ataupun menghardik mereka, agar nantinya mereka tidak meninggalkan shalat hingga justru membuahkan dosa bagi orang tuanya. (Kaifa Nurabbi Auladana hal. 25)
Sementara anak-anak perempuan diajari keutamaan shalat mereka di dalam rumah, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari para wanita:
صَلاَةُ المَرْأَةِ فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي حُجْرَتِهَا، وَصَلاَتُهَا فِي مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِي بَيْتِهَا
“Shalat seorang wanita di kamar khusus dalam rumahnya lebih utama daripada shalatnya di kamarnya, dan shalatnya di makhda’nya1 lebih utama daripada shalatnya di dalam kamar khusus di rumahnya.” (HR. Abu Dawud dan dikatakan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih 2/150: “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)
Hal yang tak boleh luput dari pengajaran shalat adalah masalah khusyu’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُوْنَ
“Beruntunglah orang-orang yang beriman, yang khusyu’ di dalam shalat mereka.” (Al-Mukminun: 1-2)
Khusyu’nya seorang hamba dalam shalat adalah hadirnya hati di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, merasakan kedekatan dengan-Nya, hingga tenang hati, jiwa dan gerakannya, hampir-hampir tidak berpaling dari-Nya, dengan sepenuh adab di hadapan Rabbnya, menghadirkan segala yang diucapkan dan dilakukan di dalam shalat, dari awal hingga akhir shalatnya, hingga hilanglah segala bisikan dan pikiran yang hina. Inilah ruh shalat, inilah yang diinginkan dalam shalat seorang hamba, dan inilah yang diwajibkan atas seorang hamba. Oleh karena itu, shalat tanpa khusyu’ dan tanpa disertai hadirnya hati, walaupun mencukupi untuk menggugurkan kewajiban dan mendapatkan pahala, namun sesungguhnya pahala itu sesuai dengan apa yang ada dalam hatinya. (Taisirul Karimir Rahman hal. 547-548)
Demikian semestinya yang menjadi perhatian orang tua, demi mengantarkan putra-putrinya ke gerbang kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Siapa kiranya yang tak tergiur dengan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak pernah diselisihi-Nya:
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولَئِكَ فِي جَنَّاتٍ مُكْرَمُوْنَ
“Dan orang-orang yang menjaga shalatnya, mereka itu dimuliakan di dalam surga.” (Al-Ma’arij: 34-35)
Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=223